Senin, 16 Mei 2016

PEMIKIRAN ULAMA MODERN



MAKALAH
PEMIKIRAN ULAMA MODERN
Makalah Ini Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
ILMU KALAM
DOSEN : ASNA ANDRIANI, SS. M.HUM
Oleh:
ZAINAL ARIFIN
PAI B / II
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
Maret 2016







KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang di ajukan untuk memenuhi salah satu mata tugas kuliah  IlmuKalam” di STAIM Tulungagung.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari jaman jahiliah munuju ke zaman terang yakni agama islam.
Dengan selesainya makalah ini dengan judulPemikiran Ulama ModernPenyusun mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat  :
1.    Bapak Nurul Amin M.Ag Selaku Rektor STAI Muhammadiyah Tulungagung.
2.   AsnaAndriani, SS. M.HumselakuDosenPembimbing  kami dalam pembuatan makalah ini. 
3.    Beserta teman-teman yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Untuk itu dengan kerendahan hati,kami mengharap kepada semua pihak segala kritik dan saran atas kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya dengan syukur alhamdulilah atas selesainya masalah yang kami buat ini, teriringi doa semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.


     Tulungagung, 24 Maret 2016


Penyusun






BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam Islamic Studies atau Dirasat Islamiyah, ilmu kalam (`ilm al-kalâm) termasuk kajian yang pokok dan sentral (pertengahan). Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu "mendominasi" arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih, (al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai merembet pada persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ekonomi dan politik Islam.
Sering kali dijumpai bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, mengalami kesulitan keagamaan untuk tidak mengatakan tidak siap ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dalam alam praktik sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

B.     Rumusan Masalah
1.  Apa Maksud dari Pemikiran Ulama Modern?
2.  Siapa Saja Tokoh Ulama Modern itu ?
3.  Bagaimana ragam pemikiran ulama Modern ?
C.  Tujuan Penulisan
1.      Agar kita mengetahui seperti apa Pemikiran Ulama Modern.
2.      Agar kita mengetahui sebagian tokoh-tokoh Ulama Modern beserta berbagai ragam pemikirannya.




BAB II
PEMBAHASAN
Dalam Bahasa Arab kata ulama diambil dari kata "علم" masdar dari "علّÙ…" artinya mengajari. Mengenai tema makalah kita kali ini yang berjudul Pemikiran Ulama Modern maka kata yang lebih di kenal untuk pembahasan ini adalah modernisasi. Kata modernisasi lahir dari dunia barat, adanya sejak terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya.Agar emua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi   modern.
Pembaharuan Islam adalah upaya sebagian ulama modern untuk menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Adapun para tokoh ulama yang tergolong modern menurut kami adalah sebagai berikut :

A.    MUHAMMAD ABDUH
1.     Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh, nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau lahir di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah (Mesir) pada tahun 1849 M. Beliau bukan berasal dari keturunan yang kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.Namun demikian, ayah beliau di kenal sebagai orang terhormat yang suka member pertolongan.[1]
Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tantabelakangan tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar.Namun sistem pengajaran disana sangat menjengkelkannya sehingga setelah 2 tahun disana, beliau memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kerabatnya.Ketika kembali ke desa, beliau dikawinkan. Pada saat itu beliau berumur 16 tahun, semula beliau bersikeras untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi beliau kembali belajar atas dorongan pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi kehidupan Abduh sebelum bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani.
Atas jasanya itu, Abduh berkata “ … Ia telah membebaskan ku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbing ku menuju ilmu pengetahuan …[2]
Setelah menyelesaikan studinya di bawah bimbingan pamannya, Abduh melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan Februari 1866. Tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani tiba di Mesir. Ketika itu Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar menyambut kedatangannya. Beliau selalu menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan beliau pun menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani pulalah yang mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang social dan politik. Artikel-artikel pembaharuanya banyak dimuat pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.[3]
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika Al-Afghani di usir dari Mesir pada tahun 1879 karena di tuduh mengadakan gerakan perlawanan terhadap Khedewi Taufiq, Abduh juga di tuduh ikut campur didalamnya. Ia di buang ke luar dari kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia diperbolehkan kembali ke ibukota, kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir Al-Waqa’I Al-Mishriyyah.
Pada waktu itu kesadaran nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan Abduh, surat kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di samping berita-berita resmi.[4]
Setelah revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh, ketika itu masih memimpin surat kabar Al-waqa’i, dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah. Di Negeri ini, beliau menetap selama setahun. Kemudian beliau menyusul gurunya Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan majalah al-Urwah al-Wusqa[5] pada tahun 1884.
Karya-karyanya yang di buat di surat kabar banyak menghendaki kebebasan berfikir dan modern. Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para fukaha yang masih memperselihkan masalah furuiyyah.[6] Yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai beliau menginggal dunia pada tahun 1905.

2.      Pemikiran-Pemikiran Muhammad Abduh
a.      Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagai mana diakuinya sendiri, yaitu:[7]
         Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Quran.
         Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua persoalan pokok itu muncul ketika beliau meratapi perkembangan umat Islam pada masanya. Sebagaimana di jelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat Islam saat itu dapat di gambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng-istinbat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut :[8]
         Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
         Keberadaan hidup di akhirat;
         Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat;
         Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
         Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat;
         Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Abduh berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentang maka ada dua kemungkinan :[9]
         Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal;
         Kesalahan dalam menggunakan penalaran.
Pemikiran semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam adalah agama yang umatnya bebas berfikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan dan teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki oleh bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi kreatif, dinamis dalam hidupnya.
Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dan dapat di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia.
b.      Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, di samping mempunyai daya piker, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini di hilangkan dari dirinya , ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[10]
c.       Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia. Dengan demikian Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.[11]
d.      Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlah-Nya dengan member kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya.

Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh sunnahtullah secara umum.Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnahtullah yang telah ditetapkannya.Di dalamnya terkandung arti bahwa tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnahtullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.[12]
e.       Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya dari segi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia.Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi manusia.[13]
f.        Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani.Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya.[14]
g.      Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak?Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.[15]
h.      Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.[16]


B .   RASYID RIDHA
1.      Riwayat Hidup Rasyid Ridha
Ide-ide brilian Abduh dan Al Afghani membuatnya mengikuti jejak kedua tokoh tersebut. Sosok intelektual satu ini bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari Kota Tripoli,Lebanon) pada  27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865            Masehi.
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha masih memiliki pertalian darah dengan Husin bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW
.[17]
Semasa kecilnya, Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di desanya, Qalamun, untuk belajar membaca Alquran, belajar menulis, dan berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Rasyid kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku daripada bermain, dan sejak kecil memang ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.

Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, dalam usia sekitar 17 tahun, Rasyid Ridha melanjutkan studinya ke Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah, yaitu sekolah milik pemerintah di Kota Tripoli. Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang didirikan oleh Syaikh Al-Jisr, seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya telah dipengaruhi oleh ide-ide modernisme.

Di sini, Rasyid Ridha belajar pengetahuan agama dan bahasa Arab secara lebih mendalam. Selain itu, ia juga belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan pengetahuan modern lain, seperti bahasa      Prancis dan      Turki. Namun, Rasyid Ridha tidak dapat lama belajar di sekolah ini karena sekolah tersebut terpaksa ditutup setelah mendapat hambatan politik dari pemerintah Kerajaan Usmani.Untuk tetap melanjutkan studinya, dia pun pindah ke salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli.Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan Ridha dengan guru utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah terus         berlanjut.
Sang gurulah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridha di kemudian hari.Di antara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern.Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh penjuru dunia, padahal tidak disajikan          pelajaran   agama            di         dalamnya.

Selain menekuni pelajaran di sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-'Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris).

Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru             pada    kedua tokoh   itu. Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia.Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir 1882, Rasyid Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya.

Di Lebanon, Rasyid Ridha mencoba menerapkan ide-ide pembaruan yang diperolehnya. Namun, upayanya ini mendapat tentangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Usmani yang tidak menerima ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya. Akibat semakin besarnya tentangan itu, akhirnya pada  1898, Rasyid Ridha pindah ke Mesir mengikuti gurunya, Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di sana.

Di kota ini, Rasyid Ridha langsung menemui Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid dan pengikut setia Abduh. Sejak saat itu, Rasyid Ridha merupakan sosok murid yang paling dekat dan setia kepada Abduh.
Di samping banyak memperdalam pengetahuan dan ide pembaharuan, Rasyid Ridha pun mengusulkan kepada sang guru agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pemikiran mereka. Kemudian, sang guru dan muridnya ini menerbitkan sebuah majalah yang begitu terkenal, yaitu majalah Al-Manar. Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan misi majalah yang sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa.
Antara lain, menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi; memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang; serta membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Dalam perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkan dalam setiap tulisannya.
Setelah menerbitkan majalah Al-Manar, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab.Dia sempat mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci Alquran dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman. Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar.Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar.
Pengajaran tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surah An-Nisa ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar.Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT pada 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Alquran. Maka, untuk melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan      kajian   tafsir    sang     guru     hingga             selesai.
Karya-karya yang dihasilkan semasa hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak. Antara lain, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh 'Abduh (Sejarah Hidup Imam Syaikh Muhammad Abduh), Nida' Li Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri' Al-'Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW), dan          Haquq             Al-Mar'ah        As-Salihah       (hak-hak          wanita             Muslim).
       2.  Pemikiran   Rasyid    Ridha 
Selain dalam hal pemikiran modern, arah pembaharuan pemikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan sang guru, Muhammad Abduh. Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha, antara lain, dalam bidang agama, pendidikan, dan politik.
Di bidang agama, Rasyid Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat.Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid'ah dan khurafat.Ia menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Alquran dan Sunah.
Ia membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Menurutnya, masalah yang pertama, Alquran dan hadis harus dilaksanakan serta tidak berubah meskipun situasi masyarakat terus berubah dan berkembang.Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain, namun pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Di bidang pendidikan, Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat Islam akan maju jika menguasai bidang ini. Oleh karenanya, dia banyak mengimbau dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan.Dalam bidang ini, Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum dengan muatan ilmu agama dan umum. Dan sebagai bentuk kepeduliannya, ia mendirikan sekolah di Kairo pada  1912 yang diberi nama Madrasah Ad-Da'wah wa Al-Irsyad.

Dalam bidang politik, Rasyid Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Sebab, ia banyak melihat penyebab kemunduran Islam, antara lain, karena perpecahan yang terjadi di kalangan mereka sendiri. Untuk itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkannya bukan seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Al-khulafa ar-Rasyidin.Dia menganjurkan pembentukan organisasi Al-jami'ah al-Islamiyah (Persatuan Umat Islam) di bawah          naungan           khalifah.
Khalifah ideal, menurutnya, adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa persyaratan, antara lain, dari segi keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Lebih lanjut, Rasyid Ridha menyebutkan dalam bukunya Al-khilafah, bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah yang tidak dijelaskan nash. Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya di bawah pengawasan sebuah dewan pengawas yang anggotanya terdiri atas para ulama dan pemuka masyarakat.Tugas dewan pengawas selain mengawasi roda pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah, dan lembaga ini berhak menindak khalifah yang berbuat zalim dan           sewenang-wenang.
Khalifah harus ditaati sepanjang pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran agama.Ia merupakan kepala atau pemimpin umat Islam sedunia, meskipun tidak memerintah secara langsung setiap negara anggota. Dan menurut Rasyid Ridha, seorang khalifah hendaknya juga seorang mujtahid besar yang dihormati.Di bawah khalifah seperti inilah kesatuan dan kemajuan umat    Islam   dapat   terwujud.
Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya.Ia pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Ia juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931.
Pengaruh pemikiran Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berbagai penjuru dunia Islam, termasuk Indonesia.Ide-ide pembaharu yang dikumandangkan banyak mengilhami semangat pembaharuan di berbagai wilayah dunia Islam.Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusungnya.Nama besarnya terus dikenang hingga beliau wafat pada Agustus 1935.

C.  Muhammad Iqbal
1.      Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873.Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir.Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an.[18]
Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School.Di bawah bimbingan Mir Hasan, beliau diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College, Di situ ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.
Ketika belajar di kota India, Beliau menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti, perlunya pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai bentuk ketidak sepakatnya terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad terakhir.Posisi umat Islam mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad sebagai simbol peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.[19]
Dua tahun kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau memperoleh gelar Ph. D dalam tasawuf dengan disertasinya yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[20]
Beliau tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun.Sekembalinya dari Munich, beliau menjadi advokat dan juga sebagai dosen. Buku yang berjudul The Recontruction of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya terbesar dalam bidang filsafat.[21]
Pada tahun 1930, beliau memasuki bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1992, beliau ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.[22]
2.      Pemikiran Muhammad Iqbal
Islam dalam pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia.[23]
Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan beliau terhadap gerak dan perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut beliau adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh beliau disebutnya sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam.[24]
Oleh karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif. Menurut beliau, peralihan kekuasaan ijtihat individu yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislative Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem hokum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme tersebut.
Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihat kedalam tiga tingkatan, yaitu :
         Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja;
         Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab;
         Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hokum dalam kasus-kasus tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.[25]

a.      Hakikat Teologi
Secara umum beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”. Pandangannya tentang ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpanan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik.[26]
b.      Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak argumen kosmologis maupun ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, beliau menerima landasan teleologis yang imamen (tetap ada). Untuk menopang hal ini, beliau menolak pandangan yang statis tentang matter serta menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu murni”-nya Bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”, ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian).
c.       Jati diri manusia
Faham dinamisme beliau berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego, ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu diartikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana dengan Allah.
d.      Dosa
Beliau secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa    Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memiliki”.

e.       Surga dan Neraka
Surga dan Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai gorongan yang menuju kepada perpecahan.[27]



D.      SAYYID QUTHB
1.      Riwayat Hidup Sayyid Quthb
Nama lengkap beliau adalah Sayyid Quthb bin Ibrahim. Beliau lahir di Musyah, Propinsi Asiyuth, pesisir Mesir, tanggal 9 Oktober 1906. Pendidikan awal beliau adalah Madrasah Ibtidaiyah di desanya tahun 1912 dan lulus tahun 1918. Revolusi tahun 1919 di negerinya membuat Sayyid Quthb berhenti dari sekolah selama dua tahun.
Terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara , sejak kecil kakak kandung dari pemikir Muhammad Quthb ini telah dikenalkan dan dibesarkan dalam lingkungan Islami. Sebagaimana tradisi kaum muslimin, sejak kecil Sayyid Quthb dididik secara ketat oleh kedua orangtuanya. Hasilnya cukup bisa dibanggakan. Belum genap berusia 10 tahun, Quthb telah hafal Al-Qur`an. Kemampuannya tersebut sesuai dengan harapan ibunya. Dalam buku hariannya, Taswir Al-Fanni fi Al-Qur`an , beliau menyatakan, ‘Harapan terbesar ibu adalah agar Allah berkenan membuka hatiku, hingga aku bisa menghafal Al-Qur`an dan membacanya di hadapan ibu dengan baik. Sekarang aku telah hafal, dengan begitu aku telah menunaikan sebagian harapan ibu.’
Pendidikan beliau berlanjut di tahun 1920, di Kairo, dengan masuk ke Madrasah Muallimin Al-Awaliyah tahun 1922, kemudian melanjutkan ke Sekolah Persiapan Darul Ulum, 1925. Setelah itu, beliau melanjutkan ke Universitas Darul Ulum 1929 dan lulus tahun 1933 dengan gelar Lisance di bidang sastra
Buku Islam pertama yang ditulis beliau adalah At-Tashawwur Al-Fanni fil Qur`an dan mulai menjauhkan diri dari sekolah sastra Al-Aqqad.Departemen Pendidikan, tempat beliau bekerja mengutusnya untuk mengunjungi Amerika, untuk mengkaji kurikulum dan sistem pendidikan Amerika. Beliau di Amerika hanya dua tahun, lalu kembali ke Mesir tanggal 20 Agustus 1950, kemudian diangkat menjadi Asisten Pengawas Riset Kesenian di Kantor Menteri Pendidikan. Tanggal 18 Oktober 1952, ia mengajukan permohonan pengunduran diri.
Dunia tulis menulis tidak asing bagi Sayyid Quthb. Sejak masa muda beliau telah mengasah kemampuan menulisnya. Ratusan makalah di berbagai surat kabar dan majalah Mesir memuat tulisan-tulisan beliau, seperti Majalah Al-Ahram, Ar-Risalah, dan Ats-Tsaqafah. Beliau sendiri menerbitkan majalah Al-Alam Al-Arabi dan Al-Fikrul Jadid, selain memimpin surat kabar pekanan Al-Ikhwanul Muslimun tahun 1953.



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kata modernisasi lahir dari dunia barat, adanya sejak terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya. Seperti contohnya wahyu, menurut Muhammad Abduh wahyu dapat menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan.
Selain dalam hal pemikiran modern, arah pembaharuan pemikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan sang guru, Muhammad Abduh. Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha, antara lain, dalam bidang agama, pendidikan, dan politik.
Islam dalam pandangan Muhammad Iqbal ialahperlunya menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia




DAFTAR PUSTAKA
Rozak,M.Ag, Drs Abdul dan Anwar,M.Ag, Drs. Rosihon. 2006. Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia.
F Hasan, Abdillah. 2004. Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, Surabaya: Jawara.
Ahmad, Drs.H.Muhammad. 1997. Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia.
Halim. A, 2002, Teologi Islam Rasional (Apresiasi Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution), Jakarta: Ciputat Press
Republika, Rasyid Ridha Tokoh Reformis Dunia Islamhttp://www.republika.co.id/berita/shortlink/71358Senin, 24 Agustus 2009, 20:15 WIB



1)       Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, (CV Pustaka Setia: Bandung, 2006), hlm 211.

2)    Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 212.
3)    Ibid.
4). Ibid
5). Ibid
6).   Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Jawara: Surabaya, 2004), hlm 259.
7).   Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 213.
8).   Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 214.
9)       Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Pustaka Setia: Bandung, 1997), hlm 149.
10).    Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 215.
11).    Ibid
12).  Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 215-216.
13). Ibid
14). Ibid

15).    Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 216-217.
16).    Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 217.
17). Republika, Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islamhttp://www.republika.co.id/berita/shortlink/71358Senin, 24 Agustus 2009, 20:15 WIB


18).    Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, hlm 267-268.
19).    Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 220.
20).    Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 220.
21).     Drs. Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 220-221.




22)     Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 221.
23)    Abdul Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 221-222.


25)    Abdul Rozak, Ilmu Kalam, hlm 222.