MAKALAH
PEMIKIRAN ULAMA MODERN
Makalah Ini Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah
ILMU KALAM
DOSEN : ASNA ANDRIANI, SS. M.HUM
Oleh:
ZAINAL ARIFIN
PAI B / II
PROGAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
Maret 2016
KATA
PENGANTAR
Segala puji syukur kami ucapkan kehadirat ALLAH SWT atas
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
yang di ajukan untuk memenuhi salah satu mata tugas kuliah “IlmuKalam” di STAIM Tulungagung.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari jaman jahiliah munuju ke zaman
terang yakni agama islam.
Dengan selesainya makalah ini dengan
judul“Pemikiran Ulama Modern” Penyusun mengucapkan
terimakasih kepada yang terhormat :
1.
Bapak Nurul Amin M.Ag Selaku
Rektor STAI Muhammadiyah Tulungagung.
2.
AsnaAndriani,
SS. M.HumselakuDosenPembimbing
kami dalam pembuatan makalah ini.
3.
Beserta teman-teman
yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan.Untuk itu dengan kerendahan hati,kami mengharap kepada semua pihak
segala kritik dan saran atas kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya dengan syukur alhamdulilah atas selesainya
masalah yang kami buat ini, teriringi doa semoga bermanfaat bagi penyusun
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Tulungagung, 24 Maret 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam Islamic Studies atau Dirasat
Islamiyah, ilmu kalam (`ilm al-kalâm) termasuk kajian yang pokok dan sentral
(pertengahan). Ilmu ini termasuk rumpun ilmu ushuluddin (dasar-dasar atau
sumber-sumber pokok agama). Begitu sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam
Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu
"mendominasi" arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian
keislaman yang lain, seperti fikih, (al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan
mazdhab, jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum
al-hadist, teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam, bahkan sampai
merembet pada persoalan-persoalan yang terkait dengan pemikiran ekonomi dan
politik Islam.
Sering kali dijumpai bahwa umat
Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, mengalami
kesulitan keagamaan untuk tidak mengatakan tidak siap ketika harus berhadapan
dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik
rupanya tidak cukup kokoh menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang
banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan,
bergaul, bersentuhan, berhubungan dalam alam praktik sosial, budaya, ekonomi,
dan politik.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa Maksud dari Pemikiran Ulama Modern?
2. Siapa Saja Tokoh Ulama Modern itu ?
3. Bagaimana ragam pemikiran ulama Modern ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Agar kita mengetahui seperti apa
Pemikiran Ulama Modern.
2.
Agar kita mengetahui sebagian
tokoh-tokoh Ulama Modern beserta berbagai ragam pemikirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam Bahasa Arab kata ulama diambil dari kata
"علم" masdar dari "علّÙ…" artinya mengajari. Mengenai
tema makalah kita kali ini yang berjudul Pemikiran Ulama Modern maka kata yang
lebih di kenal untuk pembahasan ini adalah modernisasi. Kata modernisasi lahir dari dunia barat, adanya sejak
terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi
mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah
paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya.Agar emua
itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadan baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Pembaharuan Islam adalah upaya sebagian ulama modern untuk menyesuiakan
paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan kemajuan ilmu
pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam ukan
berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran maupun Hadits,
melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Adapun
para tokoh ulama yang tergolong modern menurut kami adalah sebagai berikut :
A.
MUHAMMAD ABDUH
1. Riwayat
Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh, nama lengkapnya
Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau lahir di desa Mahallat Nashr
kabupaten Al-Buhairah (Mesir) pada tahun 1849 M. Beliau bukan berasal dari
keturunan yang kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.Namun demikian, ayah
beliau di kenal sebagai orang terhormat yang suka member pertolongan.[1]
Mula-mula Abduh dikirim ayahnya ke
Mesjid Al-Ahmadi Tantabelakangan tempat ini menjadi pusat kebudayaan selain
Al-Azhar.Namun sistem pengajaran disana sangat menjengkelkannya sehingga
setelah 2 tahun disana, beliau memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani
seperti saudara-saudara serta kerabatnya.Ketika kembali ke desa, beliau
dikawinkan. Pada saat itu beliau berumur 16 tahun, semula beliau bersikeras
untuk tidak melanjutkan studinya, tetapi beliau kembali belajar atas dorongan
pamannya, Syekh Darwish, yang banyak mempengaruhi kehidupan Abduh sebelum
bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani.
Atas jasanya
itu, Abduh berkata “ … Ia telah membebaskan ku dari penjara kebodohan (the prison of ignorance) dan membimbing
ku menuju ilmu pengetahuan …[2]
Setelah
menyelesaikan studinya di bawah bimbingan pamannya, Abduh melanjutkan studi di
Al-Azhar pada bulan Februari 1866. Tahun 1871, Jamaluddin Al-Afghani tiba di
Mesir. Ketika itu Abduh masih menjadi mahasiswa Al-Azhar menyambut
kedatangannya. Beliau selalu menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiahnya dan
beliau pun menjadi murid kesayangan Al-Afghani. Al-Afghani pulalah yang
mendorong Abduh aktif menulis dalam bidang social dan politik. Artikel-artikel
pembaharuanya banyak dimuat pada surat kabar Al-Ahram di Kairo.[3]
Setelah
menyelesaikan studinya di Al-Azhar pada tahun 1877 dengan gelar Alim, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar,
di Dar Al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika Al-Afghani di usir dari Mesir
pada tahun 1879 karena di tuduh mengadakan gerakan perlawanan terhadap Khedewi
Taufiq, Abduh juga di tuduh ikut campur didalamnya. Ia di buang ke luar dari
kota Kairo. Namun, pada tahun 1880, ia diperbolehkan kembali ke ibukota,
kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintahan Mesir Al-Waqa’I Al-Mishriyyah.
Pada waktu
itu kesadaran nasional Mesir mulai tampak dan di bawah pimpinan Abduh, surat
kabar resmi itu memuat artikel-artikel tentang urgenitas nasional Mesir, di
samping berita-berita resmi.[4]
Setelah
revolusi Urabi 1882 (yang berakhir dengan kegagalan), Abduh, ketika itu masih
memimpin surat kabar Al-waqa’i,
dituduh terlibat dalam revolusi besar tersebut sehingga pemerintah Mesir
memutuskan untuk mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak
kepadanya untuk memilih tempat pengasingannya, dan Abduh memilih Suriah. Di
Negeri ini, beliau menetap selama setahun. Kemudian beliau menyusul gurunya
Al-Afghani yang ketika itu berada di Paris. Di sana mereka menerbitkan majalah al-Urwah al-Wusqa[5]
pada tahun 1884.
Karya-karyanya
yang di buat di surat kabar banyak menghendaki kebebasan berfikir dan modern.
Pendapatnya mulai mengarah juga kepada para fukaha yang masih memperselihkan
masalah furuiyyah.[6]
Yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan Barat, khususnya
Inggris. Tahun 1885, Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke Inggris untuk
menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899,
Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu dipegangnya sampai
beliau menginggal dunia pada tahun 1905.
2.
Pemikiran-Pemikiran Muhammad Abduh
a.
Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua
persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagai mana
diakuinya sendiri, yaitu:[7]
Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana
haknya salaf al-ummah (ulama sebelum
abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari
sumber pokoknya, Al-Quran.
Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi
di kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.
Dua
persoalan pokok itu muncul ketika beliau meratapi perkembangan umat Islam pada
masanya. Sebagaimana di jelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat Islam saat itu
dapat di gambarkan sebagai “suatu masyarakat yang beku, kaku; menutup rapat-rapat
pintu ijtihad; mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau
meng-istinbat-kan hukum-hukum, karena
mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup
dalam masa kebekuan akal (jumud)
serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar
kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar
kepada akal. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut :[8]
Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
Keberadaan hidup di akhirat;
Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan
berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal
Tuhan dan melakukan perbuatan jahat;
Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiaan di akhirat;
Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
Abduh
berpendapat bahwa antara akal dan wahyu tidak ada pertentangan, keduanya dapat
disesuaikan. Kalau antara wahyu dan akal bertentang maka ada dua kemungkinan :[9]
Wahyu sudah diubah sehingga sudah tidak sesuai dengan akal;
Kesalahan dalam menggunakan penalaran.
Pemikiran
semacam ini sangat dibutuhkan untuk menjelaskan bahwa islam adalah agama yang umatnya
bebas berfikir secara rasional sehingga mendapatkan ilmu pengetahuan dan
teori-teori ilmiah untuk kepentingan hidupnya, sebagaimana yang telah dimiliki
oleh bangsa barat saat itu, dimana dengan ilmu pengetahuan mereka menjadi
kreatif, dinamis dalam hidupnya.
Dengan
memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dan dapat
di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah
penolong (al-mu’in). Kata ini ia
pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia.
b.
Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh,
di samping mempunyai daya piker, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang
merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini
di hilangkan dari dirinya , ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia
dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya,
kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya
mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.[10]
c.
Sifat-sifat Tuhan
Dalam risalah, ia menyebut
sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi
Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan
manusia. Dengan demikian Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat
bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.[11]
d.
Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan
kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah
membatasi kehendak mutlah-Nya dengan member kebebasan dan kesanggupan kepada
manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya.
Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi
oleh sunnahtullah secara umum.Ia
tidak mungkin menyimpang dari sunnahtullah
yang telah ditetapkannya.Di dalamnya terkandung arti bahwa tuhan dengan
kemauan-Nya sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnahtullah yang diciptakan-Nya untuk
mengatur alam ini.[12]
e.
Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada
akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan
meninjau ala mini bukan hanya dari segi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari
segi pandangan dan kepentingan manusia.Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan
untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa
mamfaat bagi manusia.[13]
f.
Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk dalam alam
rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani.Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak
mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di
alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti difahami sesuai
dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya.[14]
g.
Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan
pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia
dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak?Ia hanya menyebutkan bahwa
orang yang pecaya pada tanzih
(keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat
menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan
kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang
tertentu di akhirat.[15]
h.
Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat bahwa ada perbuatan
Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib
bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.[16]
B
. RASYID RIDHA
1. Riwayat
Hidup Rasyid Ridha
Ide-ide brilian Abduh dan Al Afghani
membuatnya mengikuti jejak kedua tokoh tersebut. Sosok intelektual satu ini
bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin
Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama
Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh
dari Kota Tripoli,Lebanon) pada 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan
tahun 1865 Masehi.
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha masih memiliki pertalian darah dengan Husin bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW.[17]
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha masih memiliki pertalian darah dengan Husin bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW.[17]
Semasa
kecilnya, Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di
desanya, Qalamun, untuk belajar membaca Alquran, belajar menulis, dan
berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Rasyid kecil lebih sering
menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku daripada bermain, dan
sejak kecil memang ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, dalam usia sekitar 17 tahun, Rasyid Ridha melanjutkan studinya ke Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah, yaitu sekolah milik pemerintah di Kota Tripoli. Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang didirikan oleh Syaikh Al-Jisr, seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya telah dipengaruhi oleh ide-ide modernisme.
Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, dalam usia sekitar 17 tahun, Rasyid Ridha melanjutkan studinya ke Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah, yaitu sekolah milik pemerintah di Kota Tripoli. Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang didirikan oleh Syaikh Al-Jisr, seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya telah dipengaruhi oleh ide-ide modernisme.
Di sini,
Rasyid Ridha belajar pengetahuan agama dan bahasa Arab secara lebih mendalam.
Selain itu, ia juga belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan pengetahuan modern
lain, seperti bahasa Prancis dan Turki.
Namun, Rasyid Ridha tidak dapat lama belajar di sekolah ini karena sekolah
tersebut terpaksa ditutup setelah mendapat hambatan politik dari pemerintah Kerajaan
Usmani.Untuk tetap melanjutkan studinya, dia pun pindah ke salah satu sekolah
agama yang ada di Tripoli.Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan Ridha
dengan guru utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah terus berlanjut.
Sang gurulah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridha di kemudian hari.Di antara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern.Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh penjuru dunia, padahal tidak disajikan pelajaran agama di dalamnya.
Sang gurulah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridha di kemudian hari.Di antara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern.Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh penjuru dunia, padahal tidak disajikan pelajaran agama di dalamnya.
Selain
menekuni pelajaran di sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin
mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-'Urwah
Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin
Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka
di Paris).
Melalui
surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat
dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari
Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian
yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan
kuat untuk bergabung dan berguru pada
kedua tokoh
itu. Keinginan untuk bertemu dengan
Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal
dunia.Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir 1882, Rasyid
Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh. Pertemuan
dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam
dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kebodohannya.
Di
Lebanon, Rasyid Ridha mencoba menerapkan ide-ide pembaruan yang diperolehnya.
Namun, upayanya ini mendapat tentangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki
Usmani yang tidak menerima ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya. Akibat
semakin besarnya tentangan itu, akhirnya pada 1898, Rasyid Ridha pindah
ke Mesir mengikuti gurunya, Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di sana.
Di kota
ini, Rasyid Ridha langsung menemui Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya
untuk menjadi murid dan pengikut setia Abduh. Sejak saat itu, Rasyid Ridha
merupakan sosok murid yang paling dekat dan setia kepada Abduh.
Di samping banyak memperdalam pengetahuan dan ide pembaharuan, Rasyid Ridha pun mengusulkan kepada sang guru agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pemikiran mereka. Kemudian, sang guru dan muridnya ini menerbitkan sebuah majalah yang begitu terkenal, yaitu majalah Al-Manar. Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan misi majalah yang sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa.
Antara lain, menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi; memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang; serta membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Dalam perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkan dalam setiap tulisannya.
Di samping banyak memperdalam pengetahuan dan ide pembaharuan, Rasyid Ridha pun mengusulkan kepada sang guru agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pemikiran mereka. Kemudian, sang guru dan muridnya ini menerbitkan sebuah majalah yang begitu terkenal, yaitu majalah Al-Manar. Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan misi majalah yang sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa.
Antara lain, menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi; memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang; serta membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Dalam perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkan dalam setiap tulisannya.
Setelah
menerbitkan majalah Al-Manar, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan
mengarang berbagai buku dan kitab.Dia sempat mengajukan saran kepada gurunya
agar menafsirkan kitab suci Alquran dengan penafsiran yang relevan dengan
perkembangan zaman. Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas
Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide pembaharuan yang muncul dalam
kuliah yang diberikan Muhammad Abduh. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun
secara sistematis dan diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa kembali.
Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan
dalam majalah Al-Manar.Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam
majalah Al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar.
Pengajaran
tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surah An-Nisa ayat
125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar.Hal ini
dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT pada 1905,
sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Alquran. Maka, untuk melengkapi
tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan kajian
tafsir sang
guru hingga
selesai.
Karya-karya yang dihasilkan semasa
hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak. Antara lain, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama
Asy-Syaikh 'Abduh (Sejarah Hidup Imam Syaikh Muhammad Abduh), Nida' Li Al-Jins
Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammad (Wahyu Allah yang
diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri' Al-'Am
(Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah
wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa
Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid
An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW), dan Haquq Al-Mar'ah
As-Salihah (hak-hak wanita Muslim).
2.
Pemikiran Rasyid Ridha
Selain
dalam hal pemikiran modern, arah pembaharuan pemikiran Rasyid Ridha tidak jauh
berbeda dengan sang guru, Muhammad Abduh. Ide-ide pembaharuan penting yang
dikumandangkan Rasyid Ridha, antara lain, dalam bidang agama, pendidikan, dan
politik.
Di bidang
agama, Rasyid Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi
mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa
Rasulullah SAW dan para sahabat.Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan
lebih banyak bercampur dengan bid'ah dan khurafat.Ia menegaskan jika umat Islam
ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Alquran dan Sunah.
Ia
membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Allah SWT) dan
masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia). Menurutnya, masalah yang
pertama, Alquran dan hadis harus dilaksanakan serta tidak berubah meskipun
situasi masyarakat terus berubah dan berkembang.Sedangkan untuk hal kedua,
dasar dan prinsipnya telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal
lain, namun pelaksanaan dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk
menentukan dengan potensi akal pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang
dihadapi, sepanjang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Di
bidang pendidikan, Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat Islam akan maju jika
menguasai bidang ini. Oleh karenanya, dia banyak mengimbau dan mendorong umat
Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga
pendidikan.Dalam bidang ini, Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan
kurikulum dengan muatan ilmu agama dan umum. Dan sebagai bentuk kepeduliannya,
ia mendirikan sekolah di Kairo pada 1912 yang diberi nama Madrasah
Ad-Da'wah wa Al-Irsyad.
Dalam
bidang politik, Rasyid Ridha tertarik dengan ide Ukhuwah Islamiyah
(persaudaraan Islam). Sebab, ia banyak melihat penyebab kemunduran Islam,
antara lain, karena perpecahan yang terjadi di kalangan mereka sendiri. Untuk
itu, dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu
sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam
satu kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkannya bukan
seperti konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan)
seperti pada masa Al-khulafa ar-Rasyidin.Dia menganjurkan pembentukan
organisasi Al-jami'ah al-Islamiyah (Persatuan Umat Islam) di bawah naungan khalifah.
Khalifah
ideal, menurutnya, adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa persyaratan,
antara lain, dari segi keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan kepentingan
masyarakat di atas kepentingan pribadi. Lebih lanjut, Rasyid Ridha menyebutkan
dalam bukunya Al-khilafah, bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran,
menegakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah yang
tidak dijelaskan nash. Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala
tindakannya di bawah pengawasan sebuah dewan pengawas yang anggotanya terdiri
atas para ulama dan pemuka masyarakat.Tugas dewan pengawas selain mengawasi
roda pemerintahan, juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah, dan
lembaga ini berhak menindak khalifah yang berbuat zalim dan sewenang-wenang.
Khalifah
harus ditaati sepanjang pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran
agama.Ia merupakan kepala atau pemimpin umat Islam sedunia, meskipun tidak
memerintah secara langsung setiap negara anggota. Dan menurut Rasyid Ridha,
seorang khalifah hendaknya juga seorang mujtahid besar yang dihormati.Di bawah
khalifah seperti inilah kesatuan dan kemajuan umat Islam dapat terwujud.
Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya.Ia pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Ia juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931.
Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya.Ia pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Ia juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Mekah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931.
Pengaruh
pemikiran Rasyid Ridha dan juga para pemikir lainnya berkembang ke berbagai
penjuru dunia Islam, termasuk Indonesia.Ide-ide pembaharu yang dikumandangkan
banyak mengilhami semangat pembaharuan di berbagai wilayah dunia Islam.Banyak
kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan
ide yang diusungnya.Nama besarnya terus dikenang hingga beliau wafat pada
Agustus 1935.
C. Muhammad
Iqbal
1. Riwayat
Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873.Beliau
berasal dari keluarga kasta Brahmana
Khasmir.Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama
beliau adalah ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an.[18]
Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School.Di bawah
bimbingan Mir Hasan, beliau diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa
Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore,
sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College, Di situ ia bertemu dengan Thomas Arnold,
seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada
universitas tersebut.
Ketika belajar di kota India, Beliau
menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti, perlunya pengembangan ijtihad dan
dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai bentuk ketidak sepakatnya
terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad terakhir.Posisi umat Islam
mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat
islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad
sebagai simbol peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.[19]
Dua tahun
kemudian beliau pindak ke Munich, Jerman. Di Universitas ini, beliau memperoleh
gelar Ph. D dalam tasawuf dengan disertasinya yang
berjudul The Development of Metaphysics
in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia).[20]
Beliau tinggal di Eropa kurang lebih
selama tiga tahun.Sekembalinya dari Munich, beliau menjadi advokat dan juga
sebagai dosen. Buku yang berjudul The
Recontruction of Religius Thought in Islam adalah kumpulan dari
ceramah-ceramahnya sejak tahun 1982 dan merupakan karyanya terbesar dalam
bidang filsafat.[21]
Pada tahun 1930, beliau memasuki
bidang politik dan menjadi ketua konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad, kemudian pada tahun 1931 dan tahun 1992,
beliau ikut dalam Konferensi Meja Bundar di London yang membahas konstitusi
baru bagi India. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke
Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935,
beliau jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun
itu pula, dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.[22]
2. Pemikiran
Muhammad Iqbal
Islam dalam
pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat
statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak
perubahan dalam kehidupan sosial manusia.[23]
Oleh karena
itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya
harus menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan beliau terhadap gerak dan
perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam.
Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut beliau adalah membangkitkan kesadaran
manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan dengan
kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia yang selalu berubah. Inilah yang
dalam rumusan fiqh disebut ijtihad yang oleh beliau disebutnya
sebagai prinsip gerak dalam struktur
Islam.[24]
Oleh karena
itu, untuk mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hokum Islam, ijtihad harus dialihkan
menjadi ijtihad kolektif. Menurut beliau, peralihan kekuasaan ijtihat individu
yang mewakili mazhab tertentu kepada lembaga legislative Islam adalah
satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem
hokum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum
muslimin agar menerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme
tersebut.
Sebagaimana
pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihat kedalam tiga
tingkatan, yaitu :
Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis
hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja;
Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari
satu madzhab;
Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hokum dalam
kasus-kasus tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri
madzhab.[25]
a.
Hakikat Teologi
Secara umum
beliau melihat teologi sebagai ilmu yang berdemensi keimanan, mendasarkan pada
esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa yang
bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebasmerdekaan”. Pandangannya
tentang ontology teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpanan) yang
melekat pada literatur ilmu kalam klasik.[26]
b.
Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, beliau menolak
argumen kosmologis maupun ontologis. Beliau juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan
eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun
demikian, beliau menerima landasan teleologis
yang imamen (tetap ada). Untuk
menopang hal ini, beliau menolak pandangan yang statis tentang matter serta menerima pandangan
Whitehead tentangnya sebagai struktur
kejadian dalam aliran dinamis yang tidak berhenti. Karakter nyata konsep
tersebut ditemukan beliau dalam “jangka waktu murni”-nya Bergson, yang tidak
terjangkau oleh serial waktu. Dalam” jangka waktu murni”, ada perubahan, tetapi
tidak ada suksesi (penggantian).
c.
Jati diri manusia
Faham dinamisme beliau berpengaruh besar
terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya tentang persoalan
ini dapat dilihat dari konsepnya tentang ego,
ide sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu diartikan dengan
kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan
mengembangkan bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya,
seperti yang dilakukan oleh para sufi yang menundukkan jiwa sehingga fana
dengan Allah.
d.
Dosa
Beliau
secara tegas menyatakan dalam seluruh kualitasnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran tentang
kebebasan ego manusia yang bersifat
kreatif. Dalam hubungan ini, beliau mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam
(karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang
“kebangkitan manusia dari kondisi primitive yang di kuasai hawa nafsu naluriah
kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar, sehingga
mampu mengatasi kebimbangan dan kecenderungan untuk membangkang” dan “timbulnya
ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memiliki”.
e.
Surga dan Neraka
Surga dan
Neraka, kata beliau adalah keadaan, bukan tempat. Gambaran-gambaran tentang
keduanya di dalam Al-Qur’an adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara
visual, yaitu sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an adalah “api Allah
yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati”, pernyataan yang
menyakitkan mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena
mendapatkan kemenangan dalam mengatasi berbagai gorongan yang menuju kepada
perpecahan.[27]
D. SAYYID QUTHB
1.
Riwayat
Hidup Sayyid Quthb
Nama lengkap
beliau adalah Sayyid Quthb bin Ibrahim. Beliau lahir di Musyah, Propinsi
Asiyuth, pesisir Mesir, tanggal 9 Oktober 1906. Pendidikan awal beliau adalah
Madrasah Ibtidaiyah di desanya tahun 1912 dan lulus tahun 1918. Revolusi tahun
1919 di negerinya membuat Sayyid Quthb berhenti dari sekolah selama dua tahun.
Terlahir
sebagai anak kedua dari empat bersaudara , sejak kecil kakak kandung dari
pemikir Muhammad Quthb ini telah dikenalkan dan dibesarkan dalam lingkungan
Islami. Sebagaimana tradisi kaum muslimin, sejak kecil Sayyid Quthb dididik
secara ketat oleh kedua orangtuanya. Hasilnya cukup bisa dibanggakan. Belum
genap berusia 10 tahun, Quthb telah hafal Al-Qur`an. Kemampuannya tersebut
sesuai dengan harapan ibunya. Dalam buku hariannya, Taswir Al-Fanni fi
Al-Qur`an , beliau menyatakan, ‘Harapan terbesar ibu adalah agar Allah
berkenan membuka hatiku, hingga aku bisa menghafal Al-Qur`an dan membacanya di
hadapan ibu dengan baik. Sekarang aku telah hafal, dengan begitu aku telah
menunaikan sebagian harapan ibu.’
Pendidikan
beliau berlanjut di tahun 1920, di Kairo, dengan masuk ke Madrasah Muallimin
Al-Awaliyah tahun 1922, kemudian melanjutkan ke Sekolah Persiapan Darul Ulum,
1925. Setelah itu, beliau melanjutkan ke Universitas Darul Ulum 1929 dan lulus
tahun 1933 dengan gelar Lisance di bidang sastra
Buku Islam
pertama yang ditulis beliau adalah At-Tashawwur Al-Fanni fil Qur`an dan
mulai menjauhkan diri dari sekolah sastra Al-Aqqad.Departemen Pendidikan,
tempat beliau bekerja mengutusnya untuk mengunjungi Amerika, untuk mengkaji
kurikulum dan sistem pendidikan Amerika. Beliau di Amerika hanya dua tahun,
lalu kembali ke Mesir tanggal 20 Agustus 1950, kemudian diangkat menjadi
Asisten Pengawas Riset Kesenian di Kantor Menteri Pendidikan. Tanggal 18
Oktober 1952, ia mengajukan permohonan pengunduran diri.
Dunia tulis
menulis tidak asing bagi Sayyid Quthb. Sejak masa muda beliau telah mengasah
kemampuan menulisnya. Ratusan makalah di berbagai surat kabar dan majalah Mesir
memuat tulisan-tulisan beliau, seperti Majalah Al-Ahram, Ar-Risalah, dan
Ats-Tsaqafah. Beliau sendiri menerbitkan majalah Al-Alam Al-Arabi dan
Al-Fikrul Jadid, selain memimpin surat kabar pekanan Al-Ikhwanul Muslimun
tahun 1953.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
KESIMPULAN
Kata modernisasi lahir dari
dunia barat, adanya sejak terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat barat
kata modernisasi mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha
untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan
sebagainya. Seperti
contohnya wahyu, menurut Muhammad Abduh wahyu dapat menolong
akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur
kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya,
menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan
mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan.
Selain dalam hal pemikiran modern, arah pembaharuan pemikiran Rasyid
Ridha tidak jauh berbeda dengan sang guru, Muhammad Abduh. Ide-ide pembaharuan
penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha, antara lain, dalam bidang agama,
pendidikan, dan politik.
Islam dalam pandangan Muhammad Iqbal ialahperlunya menolak konsep lama
yang menyatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya, mempertahankan
konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial
manusia
DAFTAR PUSTAKA
Rozak,M.Ag, Drs Abdul dan Anwar,M.Ag, Drs. Rosihon. 2006. Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka Setia.
F Hasan, Abdillah. 2004. Tokoh-Tokoh
Mashur Dunia Islam, Surabaya: Jawara.
Ahmad,
Drs.H.Muhammad. 1997. Tauhid Ilmu Kalam,
Bandung: Pustaka Setia.
Halim. A, 2002, Teologi Islam Rasional (Apresiasi
Terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution), Jakarta: Ciputat Press
Republika, Rasyid Ridha Tokoh Reformis Dunia Islamhttp://www.republika.co.id/berita/shortlink/71358Senin, 24 Agustus 2009, 20:15 WIB
http://ainin-ushri.blogspot.com/2009/07/tokoh
ilmu kalam.html. 25 Maret 2016, 11:40 AM.
17).
Republika, Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islamhttp://www.republika.co.id/berita/shortlink/71358Senin,
24 Agustus 2009, 20:15 WIB
19). Abdul
Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 220.
20). Abdul
Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 220.
21).
Drs. Abdul
Rozak,M.Ag, Ilmu Kalam, hlm 220-221.
25) Abdul Rozak, Ilmu
Kalam, hlm 222.
[28]. Abu Muhammad
. Assyahid Sayyid Quthb Mujahid Da’wah
yang Istiqamah Hingga Akhir Hayatnya, Source : Jihad Magz Edisi 2,See more
at:http://www.arrahmah.com/read/2011/10/23/15935-asy-syahid-sayyid-quthb-mujahid-dakwah-yang-istiqomah-hingga-akhir-hayatnya.html#sthash.DP0NF2dD.dpuf